PENGETAHUAN TENTANG DIRI (NUKILAN IMAM AL GHAZALI)
Oleh Shahibul Karib di FAKIRABDILLAH (Berkas) ·
Pengetahuan tentang diri adalah kunci pengetahuan tentang Tuhan, sesuai dengan Hadits: "Dia yang mengetahui dirinya sendiri, akan mengetahui Tuhan," dan sebagaimana yang tertulis di dalam al-Qur'an: "Akan Kami tunjukkan ayat-ayat kami di dunia ini dan di dalam diri mereka, agar kebenaran tampak bagi mereka."(QS. Fushilat 41:53). Nah, tidak ada yang lebih dekat kepada anda kecuali diri anda sendiri. Jika anda tidak mengetahui diri anda sendiri, bagaimana anda bisa mengetahui segala sesuatu yang lain.
Jika anda berkata" "Saya mengetahui diri saya"- yang berarti bentuk luar anda; badan, muka dan anggota-anggota badan lainnya - pengetahuan seperti itu tidak akan pernah bisa menjadi kunci pengetahuan tentang Tuhan. Demikian pula halnya jika pengetahuan anda hanyalah sekedar bahwa kalau lapar anda makan, dan kalau marah anda menyerang seseorang; akankah anda dapatkan kemajuan-kemajuan lebih lanjut di dalam lintasan ini, mengingat bahwa dalam hal ini hewanlah kawan anda?
Pengetahuan tentang diri yang sebenarnya, ada dalam pengetahuan tentang hal-hal berikut ini:Siapakah anda, dan dari mana anda datang? Kemana anda pergi, apa tujuan anda datang lalu tinggal sejenak di sini, serta di manakah kebahagiaan anda dan kesedihan anda yang sebenarnya berada? Sebagian sifat anda adalah sifat-sifat binatang, sebagian yang lain adalah sifat-sifat setan dan selebihnya sifat-sifat malaikat.
Mestai anda temukan, mana di antara sifat-sifat ini yang aksidental dan mana yang esensial (pokok). Sebelum anda ketahui hal ini, tak akan bisa anda temukan letak kebahagiaan anda yang sebenarnya.Pekerjaan hewan hanyalah makan, tidur dan berkelahi. Oleh karena itu, jika anda seekor hewan, sibukkan diri anda dengan pekerjaan-pekerjaan ini.
Setan selalu sibuk mengobarkan kejahatan, akal bulus dan kebohongan. Jika anda termasuk dalam kelompok mereka, kerjakan pekerjaan mereka. Malaikat-malaikat selalu merenungkan keindahan Tuhan dan sama sekali bebas dari kualitas-kualitas hewan. Jika anda punya sifat-sifat malaikat, maka berjuanglah untuk mencapai sifat-sifat asal anda agar bisa anda kenali dan renungi Dia Yang Maha Tinggi, serta merdeka dari perbudakan nafsu dan amarah.Juga mesti anda temukan sebab-sebab anda diciptakan dengan kedua insting hewan ini: mestikah keduanya menundukkan dan memerangkap anda, ataukah anda yang mesti menundukkan mereka dan - dalam kemajuan anda - menjadikan salah satu di antaranya sebagai kuda tunggangan serta yang lainnya sebagai senjata.
Langkah pertama menuju pengetahuan tentang diri adalah menyadari bahwa anda terdiri dari bentuk luar yang disebut sebagai jasad, dan wujud dalam yang disebut sebagai hati atau ruh. Yang saya maksudkan dengan "hati" bukanlah sepotong daging yang terletak di bagian kiri badan, tetapi sesuatu yang menggunakan fakultI-fakultI lainnya sebagai alat dan pelayannya. Pada hakikatnya dia tidak termasuk dalam dunia kasat-mata, melainkan dunia maya; dia datang ke dunia ini sebagai pelancong yang mengunjungi suatu negeri asing untuk keperluan perdagangan dan yang akhirnya akan kembali ke tanah asalnya.
Pengetahuan tentang wujud dan sifat-sifatnya inilah yang merupakan kunci pengetahuan tentang Tuhan. Beberapa gagasan tentang hakikat hati atau ruh bisa diperoleh seseorang yang mengatupkan matanya dan melupakan segala sesuatu di sekitarnya selain individualitasnya. Dengan demikian, ia juga akan memperoleh penglihatan sekilas akan sifat tak berujung dari individualitas itu. Meskipun demikian, pemeriksaan yang terlalu dekat kepada esensi ruh dilarang oleh syariat. Di dalam al-Qur'an tertulis:
"Mereka bertanya kepadamu tentang ruh. Katakan: Ruh itu adalah urusan Tuhanku." (QS 17:85).
Yang bisa diketahui adalah bahwa ia merupakan suatu esensi tak terpisahkan yang termasuk dalam dunia titah, dan bahwa ia tidak berasal dari sesuatu yang abadi, melainkan diciptakan. Pengetahuan filosofis yang tepat tentang ruh bukanlah merupakan pendahuluan yang perlu untuk perjalanan di atas lintasan agama, melainkan muncul lebih sebagai akibat disiplin-diri dan kesabaran berada di atas lintasan itu, sebagaimana dikatakan dalam al-Qur'an:
"Siapa yang berjuang di jalan Kami, pasti akan Kami tunjukkan padanya jalan yang lurus." (QS Al-Ankabut 29:69).
Untuk melanjutkan peperangan ruhaniah demi mendapatkan pengetahuan tentang diri dan tentang Tuhan, jasad bisa digambarkan sebagai suatu kerajaan, jiwa (nafs) sebagai rajanya serta berbagai indera dan fakultas lain sebagai tentaranya.Nalar bisa disebut sebagai wazir atau perdana menteri, (hawa)nafsu sebagai pemungut pajak dan amarah sebagai petugas polisi.
Dengan berpura-pura mengumpulkan pajak, nafsu terus-menerus cenderung untuk merampas demi kepentingannya sendiri, sementara amarah selalu cenderung kepada kekasaran dan kekerasan. Pemungut pajak dan petugas polisi keduanya harus selalu ditempatkan di bawah raja, tetapi tidak dibunuh atau diungguli, mengingat mereka memiliki fungsi-fungsi tersendiri yang harus dipenuhinya.
Tapi jika nafsu dan amarah menguasai nalar, maka - tak bisa tidak - keruntuhan jiwa pasti terjadi. Jiwa yang membiarkan fakultas-fakultas yang lebih rendah untuk menguasai yang lebih tinggi ibarat seseorang yang menyerahkan seorang bidadari kepada kekuasaan seekor anjing, atau seorang muslim kepada tirani seorang kafir.
Penanaman kualitas-kualitas setan, hewan ataupun malaikat menghasilkan watak-watak yang sesuai dengan kualitas tersebut - yang di Hari Perhitungan akan diwujudkan dalam bentuk kasat-mata, seperti nafsu sebagai babi, keganasan sebagai anjing dan serigala, serta suci sebagai malaikat. Tujuan disiplin moral adalah untuk memurnikan hati dari karat-nafsu dan amarah, sehingga bagaikan cermin yang jernih, ia memantulkan cahaya Tuhan.
Barangkali di antara pembaca ada yang akan berkeberatan, "Tapi jika manusia telah diciptakan dengan kualitas-kualitas hewan, setan dan malaikat, bagaimana bisa kita ketahui bahwa kualitas malaikat merupakan esensinya yang sebenarnya, sementara kualitas hewan dan setan hanyalah aksidental dan peralihan belaka?" Atas pertanyaan ini, saya jawab bahwa esensi tiap makhluk adalah sesuatu yang tertinggi di dalam dirinya dan khas baginya.
Kuda dan keledai kedua-duanya adalah hewan pengangkut beban, tetapi kuda lebih unggul dari keledai karena ia dimanfaatkan untuk perang. Jika gagal dalam hal ini, ia pun terpuruk ke tingkatan binatang pengangkut beban. FakultI tertinggi di dalamnya adalah aql (atas dan bawah sekaligus, editor) yang menjadikannya bisa merenung tentang Tuhan.
Jika fakultas ini dominan dalam dirinya, maka ketika mati dia tinggalkan di belakangnya segenap kecenderungan kepada nafsu dan amarah, sehingga memungkinkannya berkawan dengan para malaikat.Dalam hal pemilikan kualitas-kualitas hewan, manusia kalah dibanding banyak hewan, tetapi nalar membuatnya lebih unggul dari mereka, sebagaimana tertulis di dalam al-Qur'an:
"Telah Kami tundukkan segala sesuatu di atas bumi untuk manusia" (QS 45:13).
Tetapi jika kecenderungan-kecenderungannya yang lebih rendah yang menang, maka setelah kematiannya, dia akan selamanya menghadap ke bumi dan mendambakan kesenangan-kesenangan duniawi.Selanjutnya, jiwa rasional di dalam manusia penuh dengan keajaiban-keajaiban pengetahuan maupun kekuatan. Dengan itu semua ia menguasai seni dan sains, ia bisa menempuh jarak dari bumi ke langit bolak-balik secepat kilat, dan mampu mengatur lelangit dan mengukur jarak antar bintang.
Dengan itu juga ia bisa menangkap ikan dari lautan dan burung¬burung dari udara, serta bisa menundukkan binatang-binatang seperti gajah, unta dan kuda.Pancainderanya bagaikan lima pintu yang terbuka menghadap ke dunia luar. Tetapi yang lebih ajaib dari semuanya ini, hatinya memiliki jendela yang terbuka ke arah dunia ruh yang tak kasat-mata.
Dalam keadaan tertidur, ketika saluran inderanya tertutup, jendela ini terbuka dan ia menerima kesan-kesan dari dunia tak-kasat-mata; kadang-kadang bisa ia dapatkan isyarat tentang masa depan. Hatinya bagaikan sebuah cermin yang memantulkan segala sesuatu yang tergambar di dalam Lauhul-mahfuzh. Tapi, bahkan dalam keadaan tidur, pikiran-pikiran akan segala sesuatu yang bersifat keduniaan akan memburamkan cermin ini, sehingga kesan-kesan yang diterimanya tidak jelas. Meskipun demikian setelah mati pikiran-pikiran seperti itu sirna dan segala sesuatu tampak dalam hakikat-telanjangnya. Dan kata-kata di dalam al-Qur'an pun menyatakan:
"Telah Kami angkat tirai darimu dan hari ini penglihatanmu amat tajam."
Membuka sebuah jendela di dalam hati yang mengarah kepada yang tak¬kasat-mata ini juga terjadi di dalam keadaan-keadaan yang mendekati ilham kenabian, yakni ketika intuisi timbul di dalam pikiran - tak terbawa lewat saluran-indera apa pun. Makin seseorang memurnikan dirinya dari syahwat¬syahwat badani dan memusatkan pikirannya pada Tuhan, akan makin pekalah ia terhadap intuisi-intuisi seperti itu.
Orang-orang yang tidak sadar akan hal ini tidak punya hak untuk menyangkal hakikatnya. Intuisi-intuisi seperti itu tidak pula terbatas hanya pada tingkatan kenabian saja. Sebagaimana juga besi, dengan memolesnya secukupnya, ia akan bisa dijelmakan menjadi sebuah cermin. Jadi, dengan disiplin yang memadai, pikiran siapa pun bisa dijadikan mampu menerima kesan-kesan seperti itu. Kebenaran inilah yang diisyaratkan oleh Nabi ketika beliau berkata:
"Setiap anak lahir dengan suatu fitrah (untuk menjadi muslim); orang tuanyalah yang kemudian membuatnya menjadi seorang Yahudi, Nasrani atau Majusi."
Setiap manusia, di kedalaman kesadarannya, mendengar pertanyaan "Bukankah Aku ini tuhanmu?" dan menjawab "Ya". Tetapi ada hati yang menyerupai cermin yang telah sedemikian dikotori oleh karat dan kotoran sehingga tidak lagi memberikan pantulan-pantulan yang jernih.
Sementara hati para nabi dan wali, meskipun mereka juga mempunyai nafsu seperti kita, sangat peka terhadap segenap kesan-kesan ilahiah.Bukan hanya dengan nalar pengetahuan capaian dan intuitif saja jiwa manusia bisa menempati tingkatan paling utama di antara makhluk-makhluk lain, tetapi juga dengan nalar kekuatan.Sebagaimana malaikat-malaikat berkuasa atas kekuatan-kekuatan alam, demikian jugalah jiwa mengatur anggota-anggota badan.
Jiwa yang telah mencapai suatu tingkatan kekuatan khusus, tidak saja mengatur jasadnya sendiri, melainkan juga jasad orang lain. Jika mereka ingin agar seseorang yang sakit bisa sembuh, maka si sakit pun akan sembuh, atau menginginkan seseorang yang sehat agar jatuh sakit, maka sakitlah orang itu, atau jika ia inginkan kehadiran seseorang, maka datanglah orang itu kepadanya. Sesuai dengan baik-buruknya akibat yang ditimbulkan oleh jiwa yang sangat kuat ini, hal tersebut diistilahkan sebagai mukjizat dan sihir.
Jiwa ini berbeda dari orang biasa dalam tiga hal:1. Yang hanya dilihat oleh orang-orang lain sebagai mimpi, mereka lihat pada saat-saat jaga.2. Sementara kehendak orang lain hanya mempengaruhi jasad mereka saja, jiwa ini, dengan kekuatan kehendaknya, bisa pula menggerakan jasad-jasad di luar mereka.3. Pengetahuan yang oleh orang lain diperoleh dengan belajar secara sungguh-sungguh, sampai kepada mereka lewat intuisi.Tentunya bukan hanya tiga tanda ini sajalah yang membedakan mereka dari orang-orang biasa, tetapi hanya ketiganya itulah yang bisa kita ketahui.
Sebagaimana halnya, tidak ada sesuatu pun yang mengetahui sifat-sifat Tuhan yang sebenarnya, kecuali Tuhan sendiri, maka tak ada seorang pun yang mengetahui sifat sebenarnya seorang Nabi, kecuali seorang Nabi. Hal ini tak perlu kita herankan, sama halnya dengan di dalam peristiwa sehari-hari kita melihat kemustahilan untuk menerangkan keindahan puisi pada seseorang yang telinganya kebal terhadap irama, atau menjelaskan keindahan warna kepada seseorang yang sama sekali buta.
Di samping ketidak mampuan, ada juga hambatan-hambatan lain di dalam pencapaian kebenaran ruhaniah. Salah satu di antaranya adalah pengetahuan yang dicapai secara eksternal. Sebagai misal, hati bisa digambarkan sebagai sumur dan pancaindera sebagai lima aliran yang dengan terus-menerus membawa air ke dalamnya.
Di samping ketidak mampuan, ada juga hambatan-hambatan lain di dalam pencapaian kebenaran ruhaniah. Salah satu di antaranya adalah pengetahuan yang dicapai secara eksternal. Sebagai misal, hati bisa digambarkan sebagai sumur dan pancaindera sebagai lima aliran yang dengan terus-menerus membawa air ke dalamnya.
Agar bisa menemukan kandungan hati yang sebenarnya, maka aliran-aliran ini mesti dihentikan untuk sesaat dengan cara apa pun dan sampah yang dibawa bersamanya mesti dibersihkan dari sumur itu. Dengan kata lain, jika kita ingin sampai kepada kebenaran ruhani yang murni, pada saat itu mesti kita buang pengetahuan yang telah dicapai dengan proses-proses eksternal dan yang sering sekali mengeras menjadi prasangka dogmatis.
Kesalahan dari jenis lain, berlawanan dengan itu, dibuat oleh orang-orang yang dangkal yang - dengan menggemakan beberapa ungkapan yang mereka tangkap dari guru-guru Sufi - ke sana ke mari menyebarkan kutukan terhadap semua pengetahuan. Ia bagaikan seseorang yang tidak capak di bidang kimia menyebarkan ucapan: "Kimia lebih baik dari emas," dan menolak emas ketika ditawarkan kepadanya. Kimia memang lebih baik dari emas, tapi para ahli kimia sejati amatlah langka, demikian pula Sufi-sufi sejati.
Seseorang yang hanya memiliki pengetahuan yang dangkal tentang tasawuf, tidak lebih unggul daripada seorang yang terpelajar. Demikian pula seseorang yang baru mencoba beberapa percobaan kimia, tidak punya alasan untuk merendahkan seorang kaya. Setiap orang yang mengkaji persoalan ini akan melihat bahwa kebahagiaan memang terkaitkan dengan pengetahuan tentang Tuhan. Tiap fakultas dalam diri kita senang dengan segala sesuatu yang untuknya ia diciptakan. Syahwat senang memuasi nafsu, kemarahan senang membalas dendam, mata senang melihat obyek-obyek yang indah, dan telinga senang mendengar suara-suara yang selaras.
Fungsi tertinggi jiwa manusia adalah pencerapan kebenaran, karena itu dalam mencerap kebenaran tersebut ia mendapatkan kesenangan tersendiri. Bahkan soal-soal remeh, seperti mempelajari catur, juga mengandung kebaikan. Dan makin tinggi materi subyek pengetahuan didapatnya, makin besarlah kesenangannya. Seseorang akan senang jika dipercayai untuk jabatan Perdana Menteri, tetapi betapa lebih senangnya ia jika sang raja sedemikian akrab dengannya sehingga membukakan soal-soal rahasia baginya. Seorang ahli astronomi yang dengan pengetahuannya bisa memetakan bintang-bintang dan menguraikan lintasan-lintasannya, mereguk lebih banyak kenikmatan dari pengetahuannya dibanding seorang pemain catur.
Setelah mengetahui bahwa tak ada sesuatu yang lebih tinggi dari Allah, maka betapa akan besarnya kebahagiaan yang memancar dari pengetahuan sejati tentang¬-Nya itu! Orang yang telah kehilangan keinginan akan pengetahuan seperti ini adalah bagaikan seorang yang telah kehilangan seleranya terhadap makanan sehat, atau yang untuk hidupnya lebih menyukai makan lempung daripada roti. Semua nafsu badani musnah pada saat kematian bersamaan dengan kematian organ-organ yang biasa diperalat nafsu-nafsu tersebut. Tetapi jiwa tidak. Ia simpan segala pengetahuan tentang Tuhan yang dimilikinya, malah menambahnya.
Suatu bagian penting dari pengetahuan kita tentang Tuhan timbul dari kajian dan renungan atas jasad kita sendiri yang menampakkan pada kita kebijaksanaan, kekuasaan, serta cinta Sang Pencipta. Dengan kekuasan-Nya, Ia bangun kerangka tubuh manusia yang luar biasa dari hanya suatu tetesan belaka. Kebijakan-Nya terungkapkan di dalam kerumitan jasad kita serta kemampuan bagian-bagiannya untuk saling menyesuaikan, Ia perlihatkan cinta-Nya dengan memberikan lebih dari sekadar organ-organ yang memang mutlak perlu bagi eksistensi - seperti hati, jantung dan otak - tetapi juga yang tidak mutlak perlu - seperti tangan, kaki, lidan dan mata.
Kepada semuanya ini telah Ia tambahkan sebagai hiasan hitamnya rambut, merahnya bibir dan melengkungnya bulu mata. Manusia dengan tepat disebut sebagi 'alamushshaghir' atau jasad-kecil di dalam dirinya. Struktur jasadnya mesti dipelajari, bukan hanya oleh orang-¬orang yang ingin menjadi dokter, tetapi juga oleh orang-orang yang ingin mencapai pengetahuan yang lebih dalam tentang Tuhan, sebagaimana studi yang mendalam tentang keindahan dan corak bahasa di dalam sebuah puisi yang agung akan mengungkapkan pada kita lebih banyak tentang kejeniusan pengarangnya.
Di atas semua itu, pengetahuan tentang jiwa memainkan peranan yang lebih penting dalam membimbing ke arah pengetahuan tentang Tuhan ketimbang pengetauhan tentang jasad kita dan fungsi-fungsinya.Jasad bisa diperbandingkan dengan seekor kuda dengan jiwa sebagai penunggangnya. Jasad diciptakan untuk jiwa dan jiwa untuk jasad. Jika seorang manusia tidak mengetahui jiwanya sendiri - yang merupakan sesuatu yang paling dekat dengannya - maka apa arti klaimnya bahwa ia telah mengetahui hal-hal lain.
Kalau demikian, ia bagaikan seorang pengemis yang tidak memiliki persediaan makanan, lalu mengklaim bisa memberi makan seluruh penduduk kota. Dalam bab ini kita telah berusaha sampai tingkat tertentu untuk memaparkan kebesaran jiwa manusia. Seseorang yang mengabaikannya dan menodai kapasitasnya dengan karat atau memerosotkannya, pasti menjadi pihak yang kalah di dunia ini dan di dunia mendatang. Kebesaran manusia yang sebenarnya terletak pada kapasitasnya untuk terus-menerus meraih kemajuan. Jika tidak, di dalam ruang temporal ini, ia akan menjadi makhluk yang paling lemah di antara segalanya - takluk oleh kelaparan, kehausan, panas, dingin dan penderitaan.
Sesuatu yang paling ia senangi sering merupakan sesuatu yang paling berbahaya baginya. Dan sesuatu yang menguntungkannya tidak bisa ia peroleh kecuali dengan kesusahan dan kesulitan. Mengenai inteleknya, sekadar suatu kekacauan kecil saja di dalam otaknya sudah cukup untuk memusnahkan atau membuatnya gila. Sedangkan mengenai kekuatannya, sekadar sengatan tawon saja sudah bisa mengganggu rasa santai dan tidurnya. Mengenai tabiatnya, dia sudah akan gelisah hanya dengan kehilangan satu rupiah saja. Dan tentang kecantikannya, ia hanya sedikit lebih cantik daripada benda-benda memuakkan yang diselubungi dengan kulit halus.
Jika tidak sering dicuci, ia akan menjadi sangat menjijikkan dan memalukan. Sebenarnyalah manusia di dunia ini sungguh amat lemah dan hina. Hanya di dalam kehidupan yang akan datang sajalah ia akan mempunyai nilai, jika dengan sarana "kimia kebahagiaan" tersebut ia meningkat dari tingkat hewan ke tingkat malaikat. Jika tidak, maka keadaannya akan menjadi lebih buruk dari orang-orang biadab yang pasti musnah dan menjadi debu. Perlu baginya untuk –bersamaan dengan timbulnya kesadaran akan keunggulannya sebagai makhluk terbaik– belajar mengetahui juga ketidakberdayaannya, karena hal ini juga merupakan salah satu kunci kepada pengetahuan tentang Tuhan .
------Ulasan dari seorang penulis blog.....
Manusia dijadikan sebagai insan iaitu makhluk terbaik yang diberi dua peranan iaitu sebagai khalifah Allah s.w.t di muka bumi dan sebagai hamba yang diperintahkan supaya beribadah kepadaNya. Sebelum Allah s.w.t menjadikan manusia (Adam), terlebih dahulu Allah s.w.t telah menciptakan alam dan seluruh cakerawala, bulan, bintang, matahari dan bumi dengan segala isinya iaitu tumbuh-tumbuhan, ikan yang hidup di laut, haiwan yang terbang di udara, haiwan yang hidup di darat dan sebagainya.
Allah s.w.t telah menciptakan manusia dengan sebaik-baik bentuk. Kelebihan diri kita dari segi unsure-unsur dalam dengan dikurniakan oleh Allah s.w.t ialah akal untuk berfikir dan hati sebagai khazanah untuk menyimpan segala rahsia dan ingatan.
Penciptaan manusia sebagai hamba mewujudkan hubungan antara manusia sebagai makhluk dengan Allah s.w.t yang telah menciptakannya sebagai khalik. Kesan daripada tujuan penciptaan manusia sebagai hamba ini ialah pengabdian. Manusia terikat dengan kewajipan untuk mengabdikan dirinya kepada Allah s.w.t, khalik yang telah menciptakannya. Rasa kebertanggungjawaban ini sentiasa wujud dalam sanubari manusia semenjak sebaik sahaja Adam dihidupkan di dalam syurga hinggalah ke hari ini dan akan berterusan hinggalah hari sejurus bermulanya kiamat.
Namun, walaupun manusia menyedari kewajipan mereka untuk mengabdi kepada penciptanya, mereka tidak mengetahui bagaimanakah cara pengabdian itu harus dilakukan. Atas sebab itulah manusia menggunakan upaya akal budinya untuk mencari jalan bagi mengetahui bagaimanakah cara pengabdian itu harus dilakukan. Sepanjang perjalanan mencari menggunakan upaya akal budi ini akhirnya wujudlah kepercayaan-kepercayaan yang sering berbeza antara satu kaum, zaman, atau tempat dengan kaum, zaman atau tempat yang lain.
Antara kepercayaan-kepercayaan yang berlainan ini, sudah tentu ada kepercayaan yang lebih menghampiri kebenaran tetapi tidak mungkin akan sampai atau menemui kebenaran sebenar itu kerana ia diperolehi menggunakan upaya akal budi yang juga diciptakan dan dibekalkan bersama-sama manusia itu sendiri.Manusia dapat diertikan berbeza-beza menurut biologi, rohani, dan istilah kebudayaan, atau secara campuran. Secara biologi, manusia dikelaskan sebagai Homo sapiens (Bahasa Latin untuk manusia bijak), sebuah spesies primat dari golongan mamalia yang dilengkapi otak berkemampuan tinggi.
Dalam hal kerohanian, mereka dijelaskan menggunakan konsep jiwa yang bervariasi di mana, dalam agama, dikaikan dalam hubungannya dengan kekuatan ketuhanan atau makhluk hidup; dalam mitos, mereka juga seringkali dibandingkan dengan bangsa lain. Dalam antropologi kebudayaan, mereka dijelaskan berdasarkan penggunaan bahasanya, organisasi mereka dalam masyarakat majemuk serta perkembangan teknologinya, dan terutama berdasarkan kemampuannya untuk membentuk kelompok dan lembaga untuk dokongan satu sama lain serta pertolongan.
Konsep manusia menurut Imam Ghazali dapat dikaji dari segi unsur kerohanian yang terdiri daripada qalb, roh, nafs dan 'aql. Imam Al Ghazali di dalam kitab Ihya' telahmengutarakan teori manusia berdasarkan ayat Al-Quran dalam surah Sad ayat 72 :"Kemudian apabila Aku sempurnakan kejadiannya(manusia),serta Aku tiupkan padanya roh dari (ciptaan-Ku)…"Manusia yang diciptakan Allah s.w.t memiliki unsur-unsur rohaniah iaitu qalb, roh, nafs, dan'aql.
Imam Al-Ghazali menegaskan bahawa manusia adalah makhluk yang kompleks, kebendaan, sayangkan kehidupan dan kepandaian manusia suka memuaskan estetika dan benda-benda yang cantik, di samping itu manusia mempunyai roh Ilahi yang bertentangan dengan nafsu itu. Manakala dalam bukunya Kimyatus Sa'adah menerangkan bahawa manusia yang menentang hukum-hukum Allah s.w.t adalah akibat tiadanya pengetahuan dan kegagalan memahami erti kehidupan.
Imam Al-Ghazali menegaskan bahawa manusia memang berkebolehan untuk mencapai taraf malaikat dengan suluhan ilmu dan boleh juga jatuh tersungkur lebih rendah dari taraf haiwan jika terpengaruh dengan kemewahan dan kemarahan. Malah beliau menekankan kepentingan ilmu dalam membantu memberi kesedaran tentang hakikat dirinya yang tinggi, suci dan murni.
Di samping itu Al-Ghazali turut membicarakan tentang pelbagai sifat manusia di dalam kitab Ihya' iaitu sifat jahat, sifat haiwan, sifat syaitan dan sifat malaikat. Ke empat tempat sifat ini memang ada pada jiwa manusia. Tindakan yang mulia menyucikan serta membawa nur pada jiwa sementara tindakan jahat dan membawa dosa mengotorkan jiwa sehingga hilang nurnya. Jesteru, huraian Imam Al-Ghazali cukup jelas bahawa manusia memang ada kecenderungan untuk meningkatkan hakikat dirinya yang suci bersih. Namun manusia juga akan terjerumus ke lembah yang lebih rendah dari haiwan.
Ilmu dan tindakan yang mulia adalah penting untuk menyucikan diri manusia.Imam al Ghazali telah menghuraikan unsur kerohanian melalui kejadian manusia:ROH (AR-RUH)Imam al-Ghazali dalam karya agungnya Ihya 'Ulumuddin telah membezakan di antara roh dengan jasad. Roh adalah nyawa yang menghidupkan manusia, haiwan dan tumbuh-tumbuhan dan ia wujud dengan sendirinya, manakala jasad bergantung kepada roh untuk mewujudkan hakikat makhluk itu. Roh yang ada pada manusia kekal dan abadi manakala roh haiwan dan tumbuh-tumbuhan akan musnah.
Justeru itu, Imam al-Ghazali membezakan roh manusia daripada roh haiwan dan tumbuh-tumbuhan dengan unsur-unsur tertentu. Roh mempunyai dua pengertian:-
1. Roh dalam pengertian pertama merupakan jisim lembut yang bersumber dari rongga hati jasmani, dengan perantaraan otot-otot dan urat-urat yang beraneka ragam tersebar ke seluruh bahagian-bahagian tubuh. Perjalanannya di dalam tubuh, pancaran sinar kehidupan, perasaan, penglihatan dan pendengaran itu sama seperti pancaran sinar dari sebuah lampu yang tersebar ke seluruh sudut rumah, sehingga tidak ada satu bahagian pun dari rumah yang tidak terkena sinarannya. Hidup itu laksana sinar yang berada di dinding, sedangkan roh dan geraknya di dalam batin itu seperti geraknya cahaya lampu di sudut-sudut rumah yang digerakkan oleh penggeraknya.
2. Bermaksud yang halus (latifah) dari manusia iaitu yang mengetahui dan merasa. Ia menggunakan seluruh daya sebagai alat kelengkapannya. Ia tidak tergolong dalam bentuk yang zahir melainkan halus dan ghaib. Ia turun ke dunia ibarat pengembara yang mengunjungi negeri asing untuk melakukan tugasnya, kemudian ia akan kembali ke tempat asalnya.
Roh dalam pengertian kedua ini termasuk sesuatu perkara yang mengagumkan dan bersifat ketuhanan, walaubagaimanapun segala gambaran yang mendalam tentang hakikat roh yang sebenar tidak diizinkan oleh Allah yang Maha Esa. Ini kerana kebanyakan akal dan kefahaman manusia lemah untuk memahaminya. Di dalam al-Quran surah Al-Israa' ayat 85 telah dinyatakan sebagai berikut:"Dan mereka itu bertanya kepadamu tentang roh.
Katakanlah! Roh itu dari perkara urusan Tuhanku, dan kamu tidak diberikan ilmu pengetahuan melainkan sedikit sahaja"Menurut Imam Al-Ghazali, roh manusia mempunyai tiga unsur yang membezakannya dengan roh makhluk-makhluk lain iaitu hati (al-Qalb), nafsu (al-Nafs) dan akal (al-'Aql).HATI (AL-QALB)Dari segi fizikal, ia merupakan seketul darah beku (jantung) yang terletak di sebelah kiri dada yang menjadi pusat pertemuan saraf dari seluruh badan. Ia merupakan satu organ yang amat penting yang mengumpul dan menyebarkan darah ke seluruh badan. Ia menjadi sumber nyawa atau kehidupan manusia.
Dari segi rohaninya, ia merupakan satu gejala yang lembut, halus (latifah) dan bersifat ketuhanan.Dalam pengertian ini, hati sebagai sesuatu yang lembut adalah hakikat manusia yang dapat memahami, berilmu dan mengenal penciptanya, iaitu manusia yang menjadi sasaran perintah dan larangan Allah s.w.t, yang diseksa, dicela dan dituntut atau diminta bertanggungjawab terhadap amal perbuatannya. Menurut Imam al-Ghazali, kemuliaan dan kelebihan manusia berbanding makhluk-makhluk yang lain adalah kerana ia dipersiapkan utuk ber'makrifat' (mengenal) kepada Allah s.w.t, yang mana di dunia ini makrifat itu merupakan keindahan, kesempurnaan dan kebanggaannya manakala di akhirat kelak merupakan bekalan dan barang simpanannya.
Untuk ber'makrifat' kepada Allah s.w.t, manusia haruslah menyiapkan diri dengan hatinya, bukan setakat dengan anggota-anggota tubuh lahir. Maka, hati itulah yang dapat mengetahui (sifat-sifat, perbuatan dan lain-lain). Hati itulah juga yang dapat mendekatkan seseorang hamba kepada Allah s.w.t, beramal untuk Allah s.w.t dan dapat menyingkap apa yang berada di sisi Allah s.w.t dan di hadapan-Nya. Anggota-anggota tubuh lahir itu hanyalah sebagai pengikut, pembantu dan alat-alat yang melayani dan menyokong tugas hati. Ini bermaksud, hati menjadi pusat segala keinginan, cita-cita dan kemahuan.
Segala anggota tubuh badan yang lain semuanya tunduk di bawah kekuasaannya sama ada untuk melakukan kebajikan atau kemungkaran.Dengan ini Imam al-Ghazali mensifatkan hati sebagai raja kepada seluruh anggota manusia di mana semua anggota telah bernaluri untuk tunduk kepada hati. Kepatuhan anggota-anggota dan pancaindera kepada hati menyerupai kepatuhan dan ketaatan para malaikat kepada Allah s.w.t.
Hati sebagai raja mempunyai bala tenteranya yang tersendiri bagi menggerakkan kehidupan manusia. Tentera-tentera hati ini terbahagi kepada dua iaitu pasukan lahiriah dan batin. Pasukan lahiriah ialah semua anggota zahir manusia manakala pasukan batin merangkumi pancaindera seperti syahwat dan amarah yang merupakan motif atau penggerak-penggerak serta deria lain yang dapat memberi persepsi seperti pendengaran, penglihatan, sentuhan dan sebagainya.Di samping itu, hati manusia mempunyai hubungan yang rapat dengan alam ghaib dan melaluinya manusia dapat menerima maklumat-maklumat berhubung dengan alam ghaib dan diberi ilham atau intuisi tertentu.
Di sini hati ibarat sebuah cermin yang cerah dan bersih, yang dapat memberi ilham kepada manusia tentang hakikat diri dan Allah s.w.t.Sebagai kesimpulan, hati merupakan elemen yang mempunyai peranan yang besar dalam kehidupan manusia. Hatilah yang banyak mempengaruhi tingkahlaku dan melalui hati, manusia mampu mendekati Allah s.w.t berdasarkan penggerak-penggerak hati sehingga dapat mengetahui urusan dunia dan akhirat.
Apabila hati terlalai maka ia akan terhalang daripada mengenali Allah s.w.t.. Apabila ia tenggelam dengan hal-hal yang selain daripada Allah s.w.t, maka dialah yang dituntut, dialah yang dihisab, dialah yang dicela. Namun, seseorang itu akan beroleh keuntungan apabila ia membersihkan hati. Cahaya hati itu akan tersebar ke seluruh anggota tubuh apabila ia kuat beribadah, sedangkan hal ini tidak berlaku jika dia berbuat maksiat dan derhaka kepada Allah s.w.t.
Perbuatan-perbuatan yang keji oleh hati dan anggota-anggota tubuh itu akan menentukan gelap atau hitamnya hati itu kerana setiap wadah atau bekas itu akan menampakan percikan apa yang ada di dalamnya. Justeru, apabila orang mengenal hatinya, maka ia mengenal dirinya, dan apabila ia mengenala dirinya, maka ia mengenal Tuhannya. Tetapi apabila orang tidak mengenal hati, maka ia tidak mengenal dirinya sendiri, dan apabila ia tidak mengenal dirinya sendiri, maka ia tidak mengenal penciptanya.
Sesungguhnya terdapat empat elemen asal dalam menentukan sifat manusia terutama dalam tingkahlaku lahiriah dan kualiti-kualiti mentalnya.Elemen-elemen ini saling berkait rapat dan ia terjadi secara berperingkat selepas kelahiran manusia. Sebagaimana yang diketahui, manusia diciptakan dengan fitrah yang suci dan mewarisi sifat-sifat keTuhanan seperti pengasih, penyayang, pengampun dan sebagainya. Ini ditegaskan dalam sabda Rasulullah SAW yang bermaksud :"Setiap anak dilahirkan dalam keadaan suci" .Walau bagaimanapun setelah kelahirannya, manusia mula menghadapi perkembangan empat unsur yang seterusnya menghasilakn empat sifat umum bagi manusia.
Unsur pertama yang tercipta ialah unsur kehaiwanan (bahimiyya) iaitu kehendak (syahwat) yang bertanggungjawab terhadap kualiti kehaiwanan yang ada pada manusia. Pada satu tahap tertentu, tujuan unsur ini adalah sebagai satu cara melindungi roh dan jasad dari sebarang kemudaratan. Dari unsur inilah terbitnya keinginan untuk makan, minum, tidur dan kegiatan-kegiatan ini jika dikawal dapat memanfaatkan jasad dan roh untuk meneruskan kehidupannya. Walau bagaimanapun, keinginan syahwat ini mempunyai sifat untuk mendesak manusia melepaskan kehendaknya secara bebas.
Sekiranya tidak dikawal oleh pertimbangan akal, maka ia akan menolak manusia ke arah perbuatan-perbuatan yang berunsurkan kebinatangan.Unsur yang kedua ialah unsur kebuasan (sab'iyya) iaitu sifat marah (ghadhab). Tujuannya adalah untuk menjaga dari segala yang dapat mencederakan jasmani. Dalam hal ini, sifat-sifat seperti cemburu, mengajak untuk menangkis dan bertahan merupakan sifat-sifat untuk mempertahankan diri manusia dari segala ancaman. Namun begitu, jika kemarahan tidak terkawal, maka sewaktu manusia dikuasai oleh sifat ghadhab akan timbul perbuatan-perbuatan berbentuk permusuhan, kebencian, menyerang orang lain dan sebagainya.Seterusnya pada peringkat baligh, akan terbina terbina unsur-unsur kesyaitanan.
Di sini, serentak dengan perkembangan akal, manusia mula menggunakan kepandaian yang ada padanya untuk memikirkan tipu daya bagi mencapai tujuan-tujuan tertentu. Sesuai dengan sifat-sifat kesyaitanan, manusia akan mempunyai sifat-sifat yang sering menimbulkan perseteruan dan penipuan.Akhir sekali ialah penjelmaan unsur-unsur ketuhanan (Rabbaniah). Unsur-unsur ini membawa kecenderungan kepada manusia untuk mencapai kekuasaan dan kemenangan. Dalam hubungan ini, manusia sering menganggap dirinya lebih berkuasa dan ia mahukan kebebasan, terlepas dari ikatan sifat kehambaan serta ingin memperlihatkan segalanya sekalipun mengaku dirinya sempurna.
Ringkasnya dalam diri manusia terdapat campuran sifat ini yang kesemuanya terkumpul dalam hati dan penting sebagai potensi-potensi penggerak tingkahlaku manusia. Susunan-susunan sifat manusia ini banayk digambarkan dalam Al-Quran. Secara keseluruhan berbagai-bagai sifat yang terbit dari manusia seperti zalim dan bodoh, bersifat tergesa-gesa, melampaui batas dan sebagainya.NAFSU (AL-NAFS)Di dalam roh manusia juga terdapat unsur al-Nafs. Ia mempunyai dua pengertian:-Pertama: al-Nafs ialah sesuatu yang abstrak yang merangkumi daya marah dan nafsu syahwat pada manusia.
Bagi ahli tasawwuf, al-Nafs (nafsu) merupakan sifat-sifat tercela yang ada pada manusia sehingga mereka mengatakan bahawa tidak dapat tidak nafsu mestilah dilawan dan diperangi. Sabda Nabi s.a.w yang bermaksud :"Musuhmu yang terbesar ialah nafsumu yang berada di antara dua lambungmu"Kedua: Yang bersifat halus (latifah) iaitu hakiki pada manusia atau diri manusia dan zatnya. Apabila ia tenang disebabkan penentangan terhadap nafsu syahwat ia disebut al-Nafs al-Muthmainnah (diri atau jiwa yang tenang). Firman Allah s.w.t dalam surah Al-Fajr ayat 27-28 :"Wahai orang yang mempunyai jiwa yang sentiasa tenang tetap dengan kepercayaan dan bawaan baiknya!.
"Kembalilah kepada Tuhanmu dengan keadaan engkau berpuas hati (dengan segala nikmat yang diberi, lagi diredhai (di sisi Tuhanmu)"
Secara khususnya, Imam al-Ghazali telah membahagikan An-Nafs kepada beberapa peringkat :
i- Nafs al-Ammarah : Iaitu nafsu yang sedikit pun tidak mempunyai unsur-unsur kebaikan dan sentiasa cenderung kepada kejahatan. Nafsu ini tidak mengambil kira perhitungan akal dan bersifat mendesak untuk melepaskan kehendaknya. Desakan-desakan ini berupaya menundukkan manusia mengikut kemahuannya.
Bagi pemilik nafsu ini, mereka tidak akan dapat membezakan antara kejahatan dan kebaikan malah timbul rasa bangga di atas tindakan jahatnya. Ini adalah tahap jiwa yang paling rendah malah kedudukannya adalah lebih rendah daripada binatang.Justeru, jika nafsu ini ada di dalam jiwa manusia, maka manusia itu akan menjadi seorang yang zalim, penjenayah, pemabuk, penzina, penjudi dan sebagainya kerana ia sentiasa tunduk dan patuh menurut kehendah nafsu syahwat dan hasutan syaitan. Allah s.w.t telah berfirman dalam surah Yusuf ayat 53 :
"Sesungguhnya nafsu itu sentiasa mendorong melakukan kejahatan"
ii- Nafs al-Mulhamah : Iaitu nafsu yang mengandungi unsur kejahatan dan kebaikan. Tetapi nafsu yang jahat itu lebih banyak daripada nafsu yang baik. Manusia yang memiliki nafsu ini akan mengalami peperangan di dalam jiwa dan dirinya, iaitu peperangan perebutan antara kebaikan dan kejahatan. Biasanya kejahatan akan memperolehi kemenangan.
iii- Nafs al-Lawwamah : Iaitu nafsu yang mengandungi kebaikan dan kejahatan. Namun di sini, nafsu yang baik adalah lebih banyak daripada nafsu yang jahat. Sebagaimana Nafs al-Mulhamah, manusia yang memiliki nafsu jenis ini juga akan mengalami peperangan perebutan antara kebaikan dan kejahatan dan biasanya kebaikan yang akan mencapai kemenangan. Di tahap ini, masih ada sifat-sifat yang terdapat dalam nafs al-Ammarah tetapi telah wujud kesedaran untuk berjuang memeranginya.Nafsu di sini selalu membuat perhitungan mengenai tindak-tanduknya. Al-Ghazali menganggap nafsu ini sebagai diri yang tercela kerana kelalaiannya mengingati Allah s.w.t. Ia mempunyai kriteria menyesali kegiatan maksiatnya tetapi hatinya belum tetap dengan keimanan yang kukuh. Tujuan mencela ini adalah untuk mengembalikan manusia ke jalan yang benar.
iv- Nafs al-Muthmainnah: Iaitu nafsu yang mengandungi kebaikan sahaja. Nafsu ini merupakan nafsu yang tenang dan selamat dari desakan nafsu syahwat serta mempunyai segala sifat kemuliaan. Pengertian nafsu ini secara hakikatnya menunjukkan martabat manusia yang paling mulia dan diperingkat ini nafsu manusia yang sentiasa mendorong untuk melakukan kejahatan telah terbimbing ke jalan yang benar serta telah mendapat rahmat dari Tuhan. Justeru, bagi mereka yang memiliki nafsu ini bermakna mereka adalah golongan yang dijamin akan terus masuk ke syurga tanpa melalui sebarang penyeksaan.Jadi dapat disimpulkan bahawa nafsu mempunyai dua kekuatan yang amat bertentangan.
Kekuatan pertama ialah kekuatan kebaikan seperti pemurah, penyayang, belas kasihan, jujur. Ikhlas dan sebagainya. kekuatan kedua pula ialah kekuatan kejahatan seperti pemarah, pendendam, penipu dan sebagainya.AKAL(AL-'AQL)Selain hati dan nafsu, di dalam roh juga terdapat akal (al-'Aql). Dari segi fizikalnya, ia merupakan otak. Struktur biologikalnya sama di antara manusia dengan haiwan tetapi kuantitinya sahaja berbeza.
Dari segi kerohanian pula, akal merupakan satu keupayaan untuk menggarap ilmu pengetahuan tentang hakikat segala hal. Ia mempunyai daya kekuatan untuk menimbang sesuatu itu, sama ada kebaikan atau keburukan dan melaksanakan titah perintah hati (al-Qalb) sama ada untuk tujuan kebaikan atau kejahatan.
Ia berfungsi menyampaikan ilmu pengetahuan kepada hati yang boleh mempengaruhi atau menyucikannya dan mendekatkannya kepada Allah s.w.t.Al-Ghazali melihat akal sebagai salah satu entiti kerohanian yang memberikan kemampuan kepada manusia untuk berfikir dan membuat penaklukan bagi mengetahui segala hakikat tentang sesuatu. Akal sebagai tenaga untuk berfikir tentang baik buruknya sesuatu perkara dan merasakan segala perubahan keadaan sehingga dapat mengambil manfaat darinya.
Akal mampu membentuk keperibadian manusia dan merupakan hakikat kepada jiwa yang mempunyai ciri-ciri kemalaikatan.Kedudukan akal dalam kehidupan manusia menurut pandangan Islam adalah jelas sebagai bakat yang menjadikan manusia berupaya menerima tanggungjawab dari Allah s.w.t.
Dengan akal manusia dapat memikirkan untuk melakukan sesuatu, membezakan sesuatu dan membezakan antara hidayah dan kesesatan.Kesempurnaan amalan tidak akan dicapai selagi tidak menggunakan alat tertinggi dari peralatan jiwa dan tanpanya manusia tidak ada bezanya dengan haiwan. Dengan yang demikian, akal adalah fakulti yang paling tinggi dan mulia dalam diri manusia dan ia tidak dikurniakan walaupun kepada malaikat sekalipun.Imam al-Ghazali mengaitkan akal dengan konsep Nur (cahaya).
Beliau berpendapat sebenarnya penjelasan akal adalah lebih sesuai disebut Nur kerana ia tidak mempunyai sebarang kekurangan. Justeru, di dalam karya yang dihasilkan, beliau membincangkan beberapa keistimewaan dan keupayaan akal serta membandingkannya dengan keupayaan atau kekurangan mata manusia agar kefahaman tentang keistimewaan akal itu menjadi lebih jelas. Berikut adalah perincian mengenai pendapat beliau tersebut:-
i. Mata sebenarnya tidak dapat melihat dirinya sendiri, tetapi akal dapat melihat dan mengerti dirinya dan sifat-sifatnya sendiri. Akal adalah sesuatu yang membezakan manusia daripada haiwan. Dengan akal, manusia bersedia untuk menerima pelbagai ilmu nazari (ilmu yang memerlukan pemikiran) dan untuk mengatur usaha-usaha yang memerlukan pemikiran.
ii. Mata tidak dapat melihat benda yang sangat dekat atau sangat jauh. Akan tetapi bagi akal sama sahaja, baik yang dekat mahupun yang jauh. Akal itu terbuka dan dapat melampaui tanggapan jauh dan dekat. Menurut pandangan Islam, manusia adalah makhluk yang diberi akal yang dapat mengenal Allah dan merealisasikan-Nya. Akal adalah penjelmaan daripada 'Devine Intelligence' iaitu tempat datangnya 'Hikmah Ilahi'. Seterusnya manusia mempunyai keupayaan yang menjadikannya bebas untuk memilih. Dengan keupayaan tersebut dia boleh memilih untuk tunduk kepada Allah dan kehendak-Nya. Dia boleh memilih apa yang membawanya kepada Allah. Walau bagaimanapun kehendak Allahlah yang tidak terbatas kerana Dialah zat yang mutlak sebaliknya kebebasan manusia hanyalah relatif.
iii. Mata tidak dapat melihat sesuatu yang berada di belakang dinding, tetapi bagi akal adalah sebaliknya. Akal dapat bergerak dengan bebas sehingga ke alam ghaib dan langit yang paling atas.
iv. Mata hanya dapat melihat bahagian luar dari permukaan benda iaitu lahirnya sahaja. Ia tidak dapat melihat bahagian yang ada di dalamnya iaitu yang berada di dalam hati atau hakikat. Bahkan mata hanya sanggup melihat bentuk-bentuk yang bersifat lahiriah jauh daripada hakikat kenyataan. Akal pula dapat memecah masuk ke dalam dasar batin bahagian dalam diri benda-benda itu malah sampai kepada intipati hakikat rahsia sesuatu.
v. Mata hanya dapat melihat bahagian-bahagian dari benda yang wujud. Mata tidak dapat melihat suara, bau-bauan, rasa (makanan), rasa panas, rasa dingin, mendengar dan sebagainya. Mata juga tidak dapat melihat rasa kejiwaan seperti kegembiraan, sukacita, pedih dan lain-lain. Tetapi akal dapat menangkap semua yang telah disebutkan itu kerana ia mengetahui zahir dan batin, bebas menjelajahi dan membuat penilaian dan keputusan yang tepat serta benar.
vi. Penglihatan mata tidak boleh melihat benda yang tidak terbatas. Mata hanya dapat melihat benda yang berjasmani. Tetapi akal dapat memahami benda yang tidak terbatas. Ini kerana akal mengenal sesuatu yang abstrak, seperti konsep, idea dan tanggapan.
vii. Mata sering menganggap yang besar itu kecil. Sebaliknya akal mengetahui bahawa bintang-bintang ataupun matahari lebih besar bahkan berganda-ganda lebih besar daripada bumi. Justeru, apabila akal itu suci dan terpisah daripada perasaan bimbang dan khayal, maka ia tidak akan merasa bersalah, malahan akan dapat melihat sesuatu sebagaimana adanya.Oleh itu, dapat difahami bahawa cahaya (Nur) itu dapat dinamakan sebagai mata dan disebut cahaya mata (Nurul'ain).
Namun yang lebih tepat dan patut dinamakan cahaya itu adalah akal iaitu cahaya akal (Nurul'aql).Imam al-Gazali menyimpulkan bahawa semua aspek kerohanian seperti nafsu, akal dan hati adalah rahsia Allah yang yang bersifat ruhani dan tidak berjisim. Dalam Ihya Ulumuddin Imam al-Ghazali berbicara mengenai sikap dan tindak tanduk manusia yang diistilahkan sebagai suluk atau akhlak.
Suluk dan akhlak manusia bukanlah tingkah laku zahir yang dapat dilihat tetapi lebih kepada tingkah-laku kerohanian yang mempengaruhi tindakan manusia.Imam al-Ghazali menggariskan tingkahlaku manusia berasaskan kepada surah Al-Hujurat ayat 15 :
"Sesungguhnya orang-orang yang beriman hanyalah orang-orang yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya kemudian mereka tidak ragu-ragu dan mereka berjihad dengan harta dan jiwa mereka pada jalan Allah, mereka itulah orang-orang yang benar".