Thursday, July 27, 2017

Hakikat Ilahiyah dan Insaniyah




Tidak dapat kita sangkal bahwa tiada daya dan upaya melainkan dari Allah Yang Maha Tinggi lagi Maha Agung, artinya, Allah merupakan sumber daya dan upaya. Wihdatul Wujud sesungguhnya membagi bagian-bagian yang menjadi hakikat (dan hak) ilahiyah dan hakikat insan, sebagai khalifah Allah.
Bagi Allah ada qudrat dan iradat, demikian pula qudrat dan iradat insan. Qudrat Allah adalah menentukan sedangkan qudrat insan adalah menjalankan ketentuan; iradah Allah adalah berkehendak dan iradah insan adalah menginginkan; disini kita melihat bahwa ada hubungan absolut antara qudratiradat ilahiyah dan qudrat-iradat insaniyah. Dengan sebuah kesimpulan, bahwa keilahiyahan tidak akan terjadi tanpa keinsanian, maka Allah menjadi Dzat Maha Mulia, karena terciptanya hamba yang rendah. Allah, merupakan Tuhan saat Dia menciptakan makhluk karena Dia berkehendak seperti itu.
Jika tidak ada makhluk maka tidak ada yang mengakui bahwa Dia adalah Tuhan, apakah Dia mengakui bahwa Dia Tuhan? Ya, Dia mengakuinya, namun iradahNya untuk diketahui dan diakui menyebabkan turunnya insan dengan hakikatnya.
Hakikat insan adalah mengakui, dan hakikat ilahi adalah diakui. Namun di satu sisi, hakikat insan juga harus diakui, yaitu Allah mengakui bahwa insan adalah hamba. Pengakuan ini hanya bagi insan yang ingin mengetahui seberapa jarak antara dia dan Allah, secara tegas disebutkan dalam al-Qur'an surat al-Baqarah ayat 186:
Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah), bahwasanya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila ia memohon kepada-Ku, maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah) Ku dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran.
Ini merupakan hak-hak insan yang diakui oleh Allah, segaligus penegasan hak-hak ilahiyah. Apa yang dapat ditarik sebagai kesimpulan adalah adanya hubungan saling mengakui hakikat masing-masing, dan bahkan saling mengikat antara satu dan yang lain. Seorang insan ditegaskan untuk beriradah hanya kepada Allah, memenuhi segala qudrah Allah, beriman kepada Allah, dan akhirnya berada dalam kebenaran atau terhindar dari kesesatan.
Menyadari bahwa hakikat ilahiyah dan insaniyah adalah dekat, menyebabkan lahirnya bimbingan langsung dari Allah tanpa perantara, mendapatkan kesadaran diawasi secara langsung dari Allah. Kedekatan antara Allah dan Hamba adalah sangat dekat, tentunya jika hamba itu mencintai Allah dan tidak hanya melaksanakan ibadah sebagai rutinitas semata.
Pada akhirnya, tidak semua manusia diakui oleh Allah sebagai hambaNya. Hanya sebagian dari sekian banyak manusia yang diakui sebagai hambaNya. Ini artinya bahwa hakikat insaniyah dan ilahiyah juga merupakan hubungan kausal (jika mengakui maka diakui); misalnya yang terdapat dalam ayat berikut:
Sesungguhnya hamba-hamba-Ku tidak ada kekuasaan bagimu terhadap mereka, kecuali orang-orang yang mengikut kamu, yaitu orang-orang yang sesat (al-Hijr: 42).
Ayat diatas menunjukkan bahwa kata "kecuali" merupakan penolakan terhadap manusia yang sesat. Allah tidak mengakui sebagian manusia sebagai hambaNya, lantaran mereka mengikuti syaithan. Dan bagi Allah, syaithan tidak akan bisa menggoda hambaNya. Ini menunjukkan bahwa derajat "hamba" sangatlah tinggi untuk ukuran manusia, karena sejauh ini, setiap manusia senantiasa masih dukuasai oleh syaithan. Dan ternyata, hanya sebagian dari manusia di muka bumi ini yang diakui sebagai hamba Allah, yakni orang-orang yang juga mengakui hakikat Allah sebagai Sang Ilahi, dengan pengakuan dan persaksian yang sesungguhnya.
Melihat hakikat yang telah dipaparkan, maka insan dan ilahi itu laksana cahaya dan sifat meneranginya, es dengan dinginnya, pedang dengan tajamnya.
Sebuah misal lain, adanya seorang ayah karena ada anak yang mengakuinya, adanya seorang suami karena ada isteri yang mengakuinya. Artinya, secara hakikat, Ilahi dan Insani itu merupakan kausalitas yang tak dapat dilerai satu dan yang lainnya. Dengan demikian, adanya Allah sebagai kenyataan adanya hamba, dan begitu pula sebaliknya.
Maka, secara hakikat, Allah dan hamba itu tidak terpisahkan, atau merupakan rangkaian hakikat yang tak terpisahkan.
Wihdatul Wujud, pada gilirannya, merupakan sebuah paradigma sufistik yang sarat dengan makna hakikat dan bukan makna syariat. Para ahli syariat, yang sudah tentu tidak ahli dalam hakikat, langsung saja menghempaskan ajaran al-Hallaj, Ibnu Arabi, al-Busthami, dan Syekh Siti Jenar dalam kekafiran, padahal mereka tidak memahami bahwa ajaran Wihdatul Wujud merupakan penyatuan secara hakikat, dan bukan dzat.
Tidak mungkin dzat Allah menyatu dengan dzat hamba, karena dzat Allah laisa kamistlihi syai'un (tidak serupa dengan apapun) dan Maha Suci. Sementara dzat manusia adalah kotor dan hina. Seperti yang digambarkan dalam surat al-Mursalat ayat 20 dan surat as-Sajdah ayat 8; bahwa manusia diciptakan dari air yang hina.
Para sufi yang berilmu tentu saja tidak luput dari perhatian kearah ini. Tetapi secaha hakikat, ruh manusia merupakan tiupan ruh (ciptaan) Allah yang juga suci. Karena yang suci akan berasal dari Yang Maha Suci.
Sifat Ilahiyah dan Sifat Insaniyah
Dari segi sifat, manusia mewarisi tiga sifat yang potensial; yakni sifat ilahiyah, sifat malaikat, dan sifat hewani. Secara jasmaniah, insan mewarisi sifat hewani seperti makan, minum, kawin, bertumbuh, memiliki rasa marah, dan sebagainya. Sifat ini diakomodir oleh hawa nafsu, dan inilah sisi hewani manusia. Jika manusia lebih condong pada sifat hewani, maka dia lebih rendah dari pada binatang. Untuk menghindari ini, maka manusia juga diberikan akal dan ilmu. Dari segi malaikat, manusia memiliki naluri beriman, beribadah, dan taat.
Sedangkan sifat ilahiyah, hampir semua sifat Allah diwarisi oleh manusia, hanya saja sifatnya tidak memiliki makna "Maha."
Jika Allah Maha Esa, maka manusia itu pun esa. Kita hanya terlahir sekali, dan kita akan mati sekali. Kita tidak pernah ada bandingan dengan segala sesuatu apapun, atau dengan seorang pun. Esa, unik dan memiliki kekhususan yang tidak akan pernah sama, walaupun kembar identik.
Ma'rifat terhadap sifat-sifat ilahiah yang terwarisi pada diri merupakan hal mutlak yang harus dilakukan. Ini penting dalam rangka menuju hakikat insan kamil. Segala sesuatu Allah wariskan kepada kita, namun kita saja yang kemudian membuang satu demi satu. Sedangkan sebagian besar lebih mementingkan aspek hewaninya, dan sebagian lagi mementingkan aspek malaikatnya.
Adanya sifat-sifat hewani dalam diri manusia adalah untuk menguji sifat malaikat. Sedangkan adanya sifat malaikat itu disebabkan karena manusia diciptakan dengan model ciptaan sebelumnya, yakni malaikat; sifat sifat malaikat menjadikan kita beriman dan taat.
Sementara sifat-sifat ilahiyah menjadi penuntun menuju insan kamil.
Apa yang menjadi titik temu antara hakikat ini dengan Wihdatul Wujud?
Kembali kita melihat para sufi yang berzuhud. mereka jarang makan, jarang minum (puasa), mereka jarang tidur untuk berdzikir kepada Allah diwaktu malam, mereka menjauhi obrolan yang sia-sia, mereka membenci pembunuhan, dan melatih kesabaran untuk melumpuhkan hawa nafsu. Mereka melakukan mujahadah semacam ini demi menekan sifat hewani dalam diri mereka habis-habisan. Pada saat yang sama, mereka juga menghiasi diri dengan amalan-amalan ketaatan meniru apa yang dilakukan oleh para malaikat.
Disamping melaksanakan amalan fardhu dan rawatib, mereka juga melakukan amalan yang dilakukan oleh para malaikat, yaitu berdzikir memuji Allah. Dengan melakukan ini, mereka sebenarnya melakukan perjalanan ruhani menuju tingkat tertinggi, yakni tingkat ma'rifatunnafs.
Mereka menemukan diri mereka sebagai hamba yang memiliki Sifat sifat ilahiyah, sebagian sufi menyebut sifat-sifat rabbaniyah.
Sebagai sesuatu yang diwarisi, mereka ingin bertemu dengan sumbernya, yakni yang mewariskan sifat itu, Allah. Sebelum mereka sampai para mengenal Allah, mereka harus mengenal diri sendiri, apa yang disebut ma'rifatunnafs. Ini tercermin dalam ungkapan man arafa nafsahum faqad arafa rabbahum (barangsiapa mengenal dirinya maka dia mengenal Tuhannya).
Mereka kemudian mencari jati diri yang sebenarnya, dan ini akan semakin mudah jika aspek-aspek selain Allah dihilangkan (dilupakan) lebih dahulu.
Para sufi kemudian melakukan perjalanan dengan pendekatan tauhid yang empat. Yaitu Tauhidul Asma, Tauhidus Sifat, Tauhidul Af'al, dan Tauhiduzzat.